A.
Latar Belakang Demokrasi Terpimpin
Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi
pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi politik tidak menentu. Kekacauan
politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal mi
diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun
konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang
mantap. Berikut latar belakang munculnya penerapan demokrasi terpimpin oleh
Presiden Soekarno.
a.
Konstituante Gagal Menyusun Undang Undang
Dasar Baru
Hasil pemilihan umum memunculkan NU dan PKI
sebagai partai besar di samping PNI dan Masyumi. Setelah pemilihan umum itu
dibentuk Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada tanggal 24 Maret 1956 berdasarkan
perimbangan partai-partai di dalam pariemen. Kabinet ini juga tidak lama
bertahan, karena adanya oposisi dari daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa
pemerintah mengabaikan pembangunan di daerah.
Pada bulan Februari 1957, Presiden Soekamo
memanggil semua pejabat sipil dan militer beserta semua pimpinan partai politik
ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan itu untuk pertama kalinya Presiden Soekarno
mengaju-kan konsepsi yang berisi antara lain sebagai berikut :
·
Dibentuk Kabinet
Gotong-Royong yang terdiri atas wakil-wakil semua partai ditambah dengan
golongan fungsional
·
Dibentuk Dewan
Nasional (kemudian bernama Dewan Pertimbangan Agung). Anggota-anggotanya adalah
wakil-wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat. Fungsi dewan ini
adalah memberi nasehat kepada kabinet baik diminta maupun tidak
Konsepsi itu ditolak oleh beberapa partai,
yakni Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, dan PRI. Mereka berpendapat bahwa
mengubah susunan ketatanegaraan secara radikal hams diserahkan kepada
Konstituante. Suhu politik pun semakin bertambah panas. Dalam peringatan Sumpah
Pemuda pada tahun 1957, Presiden Soekarno menyatakan bahwa segala kesulitan
yang dihadapi negara pada waktu itu disebabkan adanya banyak partai politik,
sehingga merusak persatuan dan kesatuan negara. Oleh karena itu, ada baiknya
parta-partai politik dibubarkan.
Kemudian, dengan alasan menyelamatkan negara,
Presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi dengan nama Demokrasi Terpimpin.
Konsepsi Presiden itu mendapat tantangan yang hebat. Untuk sementara waktu,
masalah politik dan perdebatan Konsepsi Presiden menjadi beku, karena perhatian
masyarakat diarahkan kepada upaya penumpasan pem-berontakan FRRI-Permesta.
Setelah pemberontakan itu berhasil diatasi, masalah politik muncul kembali.
Masalah menjadi sangat serius, karena konstituante mengalami kemacetan dalam
menetapkan dasar negara.
Kemacetan itu teriadi karena masing-masing
partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan atau
mendahulukan kepentingan negara dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Masalah utama yang dihadapi oleh konstituante adalah tentang penetapan dasar
negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante.
Sekelompok partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun
sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.
Dalam upaya mengatasi kemacetan konstituante,
muncul gagasan untuk kembali ke UUD 1945 dari kalangan ABRI. Dengan kembali ke
UUD 1945, maka berbagai kekalutan politik dapat diselesaikan dengan dasar yang
kokoh untuk diselesaikan, yaitu pemerintahan yang stabil, masalah dasar negara
teratasi, semangat '45 dapat dipulihkan, sehingga persatuan dapat dipulihkan
juga. Berbagai partai politik ada yang memberikan dukungan terhadap gagasan
tersebut, kemudian Kabinet juga menerima gagasan kembali ke UUD 1945 pada
tanggal 19 Februari 1959.
Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno
menyampaikan anjuran pemerintah supaya konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi
konsdtusi Negara Republik Indonesia. Menanggapi anjuran pemerintah itu dan
sesuai dengan aturan yang berlaku, konstituante dapat menentukan sikap atau
melakukan pemungutan suara. Pemungutan suara dilaksanakan riga kali dan
hasilnya yaitu suara yang setuju selalu lebih banyak dari suara yang menolak
kembali ke UUD 1945, tetapi anggota yang hadir selalu kurang dari dua pertiga.
Hal ini menjadi masalah, karena masih belum memenuhi quorum. Keadaan politik
masih tetap tidak menentu. Kegagalan konstituante mengambil keputusan itu
menunjukkan bahwa anggota dari partai-partai politik yang hadir masih tetap
mengabdi kepada kepentingin partainya. Hal ini membukdkan bahwa selama tiga
tahun konstituante ti-iak mampu mengambil keputusan untuk menetapkan UUD baru
sebagai pengganti UUD Sementara 1950.
Dengan kegagalan konstituante mengambil suatu
keputusan, maka sebagian anggotanya menyatakan tidak akan menghadiri sidang
konstituante lagi. Sementara itu sejak tanggal 3 Juni 1959, konstituante
memasuki masa reses dan ternyata merupakan resesnya yang terakhir. Pada saat
itu pula Penguasa Perang Pusat dengan peraturan Nomor : PRT/PEPERPU/040/1959
melarang adanya kegiatan politik. Berbagai partai dan ABRI mendukung usul
supaya UUD 1945 diberlakukan kembali.
b.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah
berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar baru. Keadaan itu semakin
mengguncangkan situasi politik di Indonesia pada saat itu. Bahkan, masing-masing
partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan
partainya tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi
politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau.
Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bisa membahayakan
dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah
panas karena adanya ketegangan yang diikuti dengan keganjilan-keganjilan sikap
dari setiap partai politik yang berada di Konstituante. Rakyat sudah tidak
sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah. mengambil tindakan yang bijaksana
untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante. Namun, Konstituante ternyata
tidak dapat diharapkan lagi.
Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan
sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara
Indonesia dilanda kekalutan konstitusional. Undang-Undang Dasar yang menjadi
dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedang-kan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi
liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957
Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan Konsepsi Presiden.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu,
beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar
mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.
Pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk
mewujud-kan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5
Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut:
(1) Pembubaran Konstituante. (2) berlakunya kembali UUD 1945 dan idak
berlakunya UUDS 1950, (3) Pembentukkan MPRS dan DPAS.
Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari
masyarakat Indonesia. KSAD langsung mengeluarkan perintah harian kepada seluruh
anggota TNI untuk mengamankan Dekrit Presiden. Mahkamah Agung juga membenarkan
keberadaan Dekrit itu. DPR hasil pemilihan umum tahun 1955 juga menyatakan
kesediaannya untuk terus bekerja berdasarkan UUD 1945.
B.
PERKEMBANGAN EKONOMI PADA MASA DEMOKRASI
TERPIMPIN
a.
Ekonomi - Keuangan
Untuk
merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang
mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah:
1)
Mempersiapkan
rancangan undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana; (pasal 2)
2)
Menilai
penyelenggara pembangunan itu (pasal 3)
Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 1959
terbentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) di bawah pimpinan Mr. Muh
Yamin sebagai Wakil Menteri Pertama yang beranggotakan 80 orang wakil golongan
masyarakat dan daerah. Dalam waktu kurang lebih satu tahun, Depernas berhasil
menyusun suatu “Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara
Berencana tahapan tahun 1961-1969.” MPRS menyetujui rancangan tersebut.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional
diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin
oleh Presiden Sukarno. Dalam rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan
kebijakan :
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No.2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu
dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk kepentingan
perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu
nilai uang kertas pecahan Rp.500,- dan Rp.1000,- yang ada dalam peredaran pada
saat berlakunya peraturan itu diturunkan masing-masing menjadi Rp.50,- dan
Rp.100,-.
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank yang
dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang terutama
dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat jumlahnya.
Peraturan moneter tanggal 25 Agustus 1959
diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.6/1959, yang
isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran seribu rupiah dan lima
ratus rupiah yang masih berlaku (dan yang kini bernilai seratus rupiah dan lima
puluh rupiah) harus ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1
Januari 1960. Untuk menampung akibat-akibat dari tindakan moneter dari bulan
Agustus 1959 dibentuklah Panitia Penampung Operasi Keuangan (P POK). Tugas
pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut dari tindakan
moneter itu, tanpa mengurangi tanggung jawab menteri, departemen, dan jawatan
yang bersangkutan.
Akibat utama dari tindakan moneter yang
dilakukan oleh pemerintah ialah terjadinya kesukaran likuiditas di semua
faktor, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta. Keadaan ini merupakan
suatu kesempatan yang baik untuk mengadakan penertiban dari segala kegiatan
pemerintah dan swasta yang sebelumnya seolah-olah tidak terkendalikan. Untuk
tujuan itu pemerintah menginstruksikan :
a. Penghematan bagi instansi pemerintah serta
memperketat pengawasan atas pelaksanaan anggaran belanja.
b. Dilakukan penertiban manajemen dan
administrasi perusahaan-perusahaan negara, baik yang sudah lama ada, maupun
yang baru diambil alih dari pihak Belanda.
Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus
1959 itu, pemerintah bertujuan akan dapat mengendalikan inflasi dan mencapai
keseimbangan dan kemantapan moneter dengan menghilangkan excess liquidity dalam
masyarakat. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke
bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan
pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, jadi hanya 4 bulan lebih
sedikit setelah dilakukan tindakan moneter tersebut, dapat diketahui bahwa
pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter itu tidak
mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk
menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya. Misalnya saja menyelenggarakan
proyek mercu-suar seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo
(Conference of The New Emerging Forces).
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus
membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada
akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia sudah
habis membelanjakan cadangan emas dan devisanya, yang memperlihatkan saldo
negatif sebesar US $ 3 juta sebagai akibat politik konfrontasi terus-menerus
yang dilakukan. Tingkat kenaikan harga-harga paling tinggi terjadi dalam tahun
1965 (antara 200%-300% dari harga tahun 1964).
Presiden Sukarno menganggap perlu untuk
mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral.
Untuk itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1965 tentang Pendirian Bank
Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan
aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian
diadakan peleburan bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN);
Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank
Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk
Bank Negara Indonesia. Bank Negara Indonesia tersebut dibagi dalam beberapa
unit, yang masing-masing unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan
pendiriannya. Keadaan itu berlangsung terus sampai Bank Tunggal itu dibubarkan
dengan berlakunya Undang-undang No.13 Tahun 1968.
b.
Perkreditan dan Perdagangan Luar Negeri
Politik luar negeri pada masa Demokrasi
Terpimpin di bidang perkreditan dan perdagangan hakekatnya tidak berbeda
sifatnya dari sistem ijon dari petani-petani dan pengusaha-pengusaha kecil,
hanya saja kredit luar negeri ini berskala nasional dan menyangkut hajat hidup
seluruh rakyat Indonesia. Dalih perkreditan luar negeri pada masa ini adalah
mengarrangement dan readjustment dengan negara-negara kreditor. Dan sementara
itu masyarakat Indonesia pada umumnya masih beranggapan bahwa hutang adalah
identik dengan penghasilan.
Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan
negara lain misalnya dengan negara Cina. Perdagangan bilateral tersebut dijalin
atas dasar Government to Government (G to G). Dalam perdagangan G to G ini RRC
memperoleh keuntungan politik disamping keuntungan ekonomi yang tidak sedikit.
Sebagai contoh perdagangan karet. Transaksi-transaksi karet rakyat Indonesia
dengan RRC pada hakekatnya adalah pembelian bahan baku yang murah oleh RRC,
yang kemudian dijual kembali sebagai barang jadi yang mahal ke Indonesia
sebagai yang disebut bantuan luar negeri. Dalam hubungan ini adakalanya
barang-barang yang bercap RRC seperti tekstil yang dikirim sebagai bantuan ke
Indonesia bukan dibuat di RRC sendiri akan tetapi di Hongkong. Dalam hal ini
disebut bantuan pada hakekatnya adalah hasil keuntungan RRC dari pembelian
karet rakyat Indonesia. Maka jelaslah bahwa kebijaksanaan perdagangan dan
perkreditan luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah Orde Lama terutama
selama 3 tahun terakhir telah membawa Indonesia ke dalam lingkungan pengaruh
politik RRC sampai titik kulminasinya dalam pemberontakan G 30 S/PKI.
Dalam rangka usaha untuk membiayai
proyek-proyek Presiden/Mandataris MPR-S, maka Presiden Sukarno mengeluarkan
Instruksi Presiden No.018 tahun 1964 dan Keputusan Presiden No.360 tahun 1964,
yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan “dana-dana
revolusi”. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan
uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan
deferred payment. Deferred payment ialah suatu macam impor yang dibayar dengan
kredit (kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak cukup persediaan devisa. Dalam
praktek, barang-barang yang diimpor dengan menggunakan deferred payment khusus
itu adalah barang-barang yang tidak membawa manfaat bagi rakyat banyak, bahkan
sebaliknya merupakan barang-barang yang sudah dijadikan bahan spekulasi dalam
perdagangan, misalnya scooter dan barang-barang lux lainnya. Pada umumnya yang
mendapat izin deferred payment ini adalah yang disponsori oleh Presiden Sukarno
sendiri. Akibat kebijaksanaan kredit luar negeri ini adalah:
a) Hutang-hutang negara semakin bertimbun-timbun,
sedangkan ekspor semakin menurun
b) Devisa menipis karena ekspor menurun sekali
c) Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru
atau pembayaran itu ditangguhkan
d) RI tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan
dari luar negeri, yang mengakibatkan adanya insolvensi internasional. Karena
itu, sering terjadi bahwa beberapa negara menyetop impornya ke Indonesia karena
hutang-hutang tidak dibayar
e) Di dalam negeri berakibat mengganggu proses
produksi, distribusi dan perdagangan serta menimbulkan kegelisahan di kalangan
penduduk
Menteri Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam
diberikan kuasa untuk mengelola “dana revolusi” itu. Dana revolusi tersebut
diberikan dalam bentuk kredit kepada orang lain atau perusahaan dengan rente
tertentu agar jumlah dana bertambah terus. Namun, pemberian kredit tersebut
menyimpang dari pemberian kredit biasa sampai kira-kira mencapai jumlah Rp 338
milyar (uang lama). Hal ini mengakibatkan inflasi meningkat sangat tinggi
karena pemerintah sama sekali tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Bank
Indonesia diizinkan untuk mengadakan penyertaan dalam perusahaan, sehingga
membawa akibat yang cukup luas bagi masyarakat:
a) Bank Indonesia sebagai Bank Sentral tidak
dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai pengantar peredaran uang
b) Neraca Bank Indonesia tidak dapat diketahui
oleh rakyat lagi
c) Neraca Bank Indonesia yang tidak diumumkan
mendorong usaha-usaha spekulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan
C.
PERKEMBANGAN POLITIK PADA MASA DEMOKRASI
TERPIMPIN
Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya
menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan
kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistim Demokrasi Barat
menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk
membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada
akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia.
Partai politik dianggap sebagai sebuah
penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit
inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia.
Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan
oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih
menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil dengan kalangan
militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai
penyeimbang.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah
tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai lainnya
dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang
didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat
lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya.
Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam
tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat
dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut
agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan
komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya
sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU
dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada
segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk
yang sesuai dengan doktrin presiden.
Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh
bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah
senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya
menghalangi jalannya revolusi yang hendak dibawakannya. Demokrasi terpimpin
yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia dan lebih baik
dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam pelaksanaannya lebih
mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat
hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari partai-partai
pemenang pemilihan umum, dibubarkan. Beberapa partai yang dianggap terlibat
dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga
dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai politik, kecuali 9
partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat dikendalikan, dibubarkan pula.
Dalam penggambaran kiprah partai politik di
percaturan politik nasional, maka ada satu partai yang pergerakan serta
peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu
kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan
Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan
partai politik pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini
tidak dapat dilepaskan.
PKI di bawah pemimpin mudanya, antara lain
Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan intensif dan segala cara, baik secara
etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian progresifnya dalam
pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir periode
Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota
ditambah 17 juta pengikut yang menjadi antek-antek organisasi pendukungnya,
sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai terbesar.
Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada
masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI
memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963,
MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat
dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi
Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan
Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan
Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah
upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer
untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin
militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai
tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui
agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang
permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian
mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.
Seperti yang telah disebutkan di atas, partai
politik pada masa Demokrasi Terpimpin mengalami pembubaran secara paksa.
Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan dengan cara diterapkannya Penerapan
Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1959. Peraturan
tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:
1) Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan
Pancasila
2) Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi
untuk mewujudkan cita-cita politiknya
3) Menerima bantuan luar negeri hanya seizin
pemerintah
4) Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang
yang terbesar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah
cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah daerah
tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia
5) Presiden berhak menyelidiki administrasi dan
keuangan partai
6) Presiden berhak membubarkan partai, yang
programnya diarahkan untuk merongrong politik pemerintah atau yang secara resmi
tidak mengutuk anggotanya partai, yang membantu pemberontakan
Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai
yang diakui dan dianggap memenuhi prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128
tahun 1961, partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik,
Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No. 129 tahun
1961 menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng
Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya melalui Keppres
No. 440 tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan
Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).
Demikianlah kehidupan partai-partai politik di
masa Demokrasi Terpimpin. Partai-partai tersebut hampir tidak bisa memainkan
perannya dalam pentas perpolitikan nasional pada masa itu. Hal ini dimungkinkan
antara lain oleh peran Soekarno yang amat dominan dalam menjalankan
pemerintahannya dengan cirinya utamanya yang sangat otoriter pada waktu itu di
era demokrasi terpimpin.
D.
PERKEMBANGAN SOSIAL BUDAYA PADA MASA DEMOKRASI
TERPIMPIN
1. Pendidikan
Murid-murid sekolah lanjutan pertama dan
tingkat atas pada tahun 1950-an jumlahnya melimpah dan berharap menjadi
mahasiswa. Mereka ini adalah produk pertama dari system pendidikan setelah
kemerdekaan. Universitas baru didirikan di ibukota propinsi dan jumlah fakultas
ditambah meskipun kekurangan tenaga pengajar. Perguruan tinggi swasta semakin
banyak terutama tahun 1960. Eksplosi pendidikan tinggi ini disebabkan meluasnya
aspirasi untuk menjadi mahasiswa.
Untuk memenuhi keinginan golongan islam
didirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sedangkan umat Kristen dan
katolik didirikan sekolah Tinggi Theologia serta seminari-seminari. Sistem
penerimaan mahasiswa yang mudah dan pembebasan biaya kuliah menyebabkan
peningkatan jumlah mahasiswa besar-besaran. Penambahan mahasiswa mencapai
seratus ribu dengan perguruan tinggi 181 buah pada tahun 1961.
Sejak tahun 1959 dibawah menteri P dan K Prof.
Dr. Prijono disusun suatu rencana pengajaran yang disebut Sapta Usaha Tama,
yang meliputi :
a) Penertiban aparatur dan usaha-usaha Departemen
P dan K
b) Meningkatkan seni dan olahraga
c) Mengharuskan usaha halaman
d) Mengharuskan penabungan
e) Mewajibkan usaha-usaha koperasi
f) Mengadakan kelas masyarakat
g) Membentuk regu kerja di kalangan SLTP/SLTA dan
Universitas
Sejak tahun 1962 sistem pendidikan SMP dan SMA
mengalami perubahan dalam kurikulum SMP baru di tambahkan mata pelajaran ilmu
administrasi dan kesejahteraan masyarakat. Sistem pendidikan SMA di lakukan
penjurusan mulai kelas II jurusan di bagi menjadi kelas budaya, soiial, ilmu
pasti dan alam. Melihat pembagian di SMA
seperti itu menunjukkan mereka dipersiapkan untuk memasuki peguruan tinggi.
Tentang penyelenggaraan seni dan olah raga
ditentukan kewajiban mempelajari dan menyanyikan 6 lagu nasional selain lagu
kebangsaan Indonesia Raya. Olah raga sepak bola dan bola volley banyak
dikembangkan.
Yang dimaksud Usaha halaman adalah usaha yang
dapat dilakukan di halaman sekolah maupun rumah, yang hasilnya dapat dibuat
sebagai penambah pangan. Usaha halaman sekolah berlaku untuk semua tingkat
sekolah negeri maupun swasta.
Gerakan menabung bagi setiap murid dilakukan
pada bank tabungan pos, kantor pos, kantor pos pembantu. Cara penabungan di
atur oleh departemen P dan K bersama dengan Direksi Bank Tabungan Pos. usaha
ini untuk mendidik anak berhemat selain untuk pengumpulan dana masyarakat.
Gerakan koperasi sekolah juga digiatkan. Murid aktif dalam penyelenggaraan
koperasi. Kepala sekolah dan guru sebagai pengawas dan penasehat koperasi.
Suatu kelas masyarakat yang waktu
pendidikannya 2 tahun dibentuk untuk menampung lulusan sekolah rakyat yang
karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan sekolah. Mereka dididik dalam kelas
masyarakat ini untuk mendapat ketrampilan.
Sekitar tahun 1960-an dikalangan pendidikan
muncul masalah yakni usaha PKI untuk menguasai organisasi profesi guru
“Persatuan Guru Replubik Indonesia” (PGRI). Hal ini menimbulkan perpecahan
dikalangan guru dan PGRI. Perpecahan
PGRI bertepatan dengan dilancarkannya system pendidikan baru oleh menteri PP
dan K. system baru itu adalah Pancasila dan Pancawardhana. Adapun sistem
Pancawardhana atau lima pokok penjabarannya :
I.
Perkembangan
cinta bangsa dan tanah air, moral nasional /internasional/keagamaan
II.
Perkembangan
intelegensi
III.
Perkembangan
nasional-artistik atau rasa keharusan dan keindahan lahir dan batin
IV.
Perkembangan keprigelan
( kerajinan tangan )
V. Perkembangan jasmani
2. Komunikasi Massa
Surat kabar dan majalah yang tidak seirama
dengan Demokrasi Terpimpin, harus menyingkir dan tersingkir. Persyaratan untuk
mendapatkan Surat Ijin Terbit dan Surat Ijin Cetak (SIT) diperketat. Sejak
tahun 1960, semua penerbit wajib mengajukan permohonan SIT dengan dicantumkan
19 pasal yang mengandung pertanggungjawaban surat kabar/majalah tersebut.
Pedoman resmi untuk penerbitan surat kabar dan
majalah diseluruh Indonesia, dikeluarkan pada tanggal 12 Oktober 1960 yang
ditanda tangani oleh Ir. Juanda selaku Pejabat Presiden. Pedoman yang berisi 19
pasal tersebut mudah digunakan penguasa untuk menindak surat kabar/majalah yang
tidak disenangi. Maka satu demi satu penerbit yang menentang dominasi PKi di
cabut SITnya. Yakni, Harian Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, Star
Weekly dan sebagainya. Surat kabar Abadi lebih memilih menghentikan penerbitan
daripada menandatangani persyaratan 19 pasal itu. Dengan semakin sedikitnya
pers Pancasila yangb masih hidup, dapat digambarkan betapa merajalelanya Surat
Kabar PKI seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti.
Melalui Harian Rakyat surat kabar resminya,
pimpinan PKI memimpin propaganda untuk menyingkirkan lawan politiknya.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) satu-satunya organisasi profesi wartawan
yang ada dan diakui pemerintah, didominasi oleh golongan komunis dan
satelit-satelitnya. Karena itu wartawan diluar kubu komunis tidak bisa bergerak
karena terkepung. Bahkan Departemen Penerangan akhirnya dapat digiring kepada
sikap mendukung garis yang diajukan PKI.
Sajuti Melik menyebarluaskan ajaran-ajaran
Bung Karno yang murni (belum dipengaruhi oleh komunisme) dalam tulisan-tulisan
yang dimuat dalam surat kabar dengan jdul tulisan “Belajar Memahami
Soekarnoisme”. Isi pokok tulisan Sajuti Melik ialah “Tidak setuju Nasakom”,
melainkan setuju Nasasos. Maksudnya ialah untuk mengingatkan berbagai pihak
akan ajaran-ajaran Bung Karno yang semula. Dengan demikian diharapakan untuk
membendung penyimpangan-penyimpangan oleh PKI terhadap ajaran-ajaran itu. Pada
mulanya tulisan itu di muat oleh Suluh Indonesia, Koran PNI, dan dari Koran itu
di kutip oleh harian dan majalah lain.
Tapi setelah ada protes keras dari PKI, maka
dihentikan pemuatannya oleh Suluh Indonesia. Berdasarkan tulisan sajuti Melik
ini, berdirilah Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Pengurus BPS adalah ketua :
Adam Malik; Wakil Ketua : B. M. Diah; Ketua Harian : Sumantoro; Wakil Ketua
Harian : Junus Lubis; Sekretaris Umum : Drs. Asnawi Said; Bendahara : Sunaryo
Prawiroadinata; Biro Dalam Negeri : Sugiarso; Biro Luar Negeri : Zain Effendi
AI; Penghubung : Adyatman. BPS terbukti mendapat dukungan luas dalam
masyarakat, dilain pihak mendapat tantangan dari PKI. Melalui surat kabar,
rapat-rapat dan demonstrasi PKI menfitnah BPS dengan slogan to kill Soekarno
With Soekarnoisme.
Pemerintah Soekarno pada saat itu mendapat
tekanan dari golongan komunis untuk menindak BPS. Pada akhirnya Presiden
Soekarno, selaku pemutus terakhir turun tangan. Keputusan yang di ambil
Presiden Soekarno pada bulan februari 1965 ialah: “ …melarang semua aktivitas
BPS dan mencabut izin terbit Koran-koran penyokong BPS”. Ini berarti BPS bubar.
Akibat dilarangnya Koran pendukung BPS banyak
karyawan pers yang dengan itikat baik hendak menyebarkan ajaran Bung Karno
menurut tafsiran yang murni dan bukan tafsiran Komunis., kehilangan nafkahnya.
3. Kehidupan Budaya
Sesuai dengan semboyan PKI “ politik adalah
panglima” maka seluruh kehidupan
masyarakat diusahakan untuk berada di bawah dominasi politiknya. Kampus
diperpolitikkan mahasiswa yang tidak mau ikut dalam rapat umumnya, appel-appel
besarnya dan demonstrasi-demonstrasi revolusionernya di caci maki dan
dirongrong oleh unsur Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) atau
satelit-satelitnya. Wartawan yang ikut BPS dimaki-maki sebagai antek Nekolim
atau agen CIA. Bahkan para budayawan maupun seniman juga tak luput dari raihan
tangan mereka.
Realisme sosialis sebagai doktrin komunis
dibidang seni dan sastra diusahakan untuk menjadi doktrin di Indonesia juga.
Akan tetapi pelaksanaan doktrin tersebut lebih represif dari pada persuasive
seperti adanya larangan bagi pemusik-pemusik pop untuk memainkan lagu-lagu ala
imperialis barat. Peristiwa yang paling diingat oleh masyarakat pada bidang
budaya adalah heboh mengenai Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan
Pengarang Indonesia (KKPI). Sesungguhnya isi dari Manifes Kebudayaan itu
tidaklah baru atau luar biasa. Yang diungkap adalah konsepsi humanisme
universal yang timbul dalam masyarakat liberal yang menekankan kebebasan
individu untuk berkarya secara kreatif. PKI tidak serta merta menyerang manifes
tersebut akan tetapi berselang 4 bulan setelah kemunculannya baru mulai angkat
senjata.
Hal ini terjadi karena para sastrawan
Pancasilais baik yang mendukung manifes kebudayaan maupun tidak sedang
menyiapkan rencana untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia
(KKPI). PKI menganggap bahwa sebuah manifest saja bukanlah ancaman bagi mereka
akan tetapi suatu pengelompokan yang terorganisasi merupakan bahaya yang harus
segera ditumpas sebelum berkembang lebih besar. Para sastrawan yang sudah
menyiapkan KKPI memiliki perencanaan yang matang. Mereka sudah melakukan pengaman secukupnya baik berupa
konsepsi maupun dukungan dari pejabat-pejabat dan kekuatan-kekuatan
pancasilais.
Setelah
kemunculan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI) barulah PKI mulai
mengadakan kampanye untuk mengidentifikasi KKPI dan PKPIdengan manifest
kebudayaan untuk sama-sama dihancurkan. Serangan terhadap manifest kebudayaan
terus dilancarkan melalui tulisan yang semakin tajam dalam Harian Rakyat,
Bintang Timur dan Zaman Baru. PKI menganggap manifest kebudayaan sebagai bentuk
penyelewengan dari revolusi Indonesia yang berporos pada soko guru tani, buruh
dan prajurit. Di lain sisi PKI mendukung penuh gagasan manifest politik karena
dalam ide-ide tersebut terdapat penyesuaian gagasan sikap politik budaya dari
perjuangan komunisme. Manifes kebudayaan dianggap mengesampingkan manifest
politik karena memisahkan antara politik dan kebudayaan. Propaganda PKI yang
hebat sedikit banyak telah mempengaruhi massa, serangan-serangan terhadap
pendukung manifest kebudayaan dan KKPI tidak ada hentinya dalam harian, pidato,
tokoh-tokoh PKI maupun aksi politik. Serangan lewat media mass media, aksi
turun kejalanberdemonstrasi dilakukan oleh penyokong PKI. Aksi-aksi tersebut
mengundang presiden Soekarno sehingga pada ulang tahun Departemen Perguruan
Tinggi dan ILmu Pengetahuan (PTIP) yang ke-3 menyampaikan pidato yang mendesak
mahasiswa revolusioner dan molotan untuk menggeser guru-guru besar dan sarjana
anti manifest politik. Pidato Presiden Soekarno tentang Manipol-Usdek yang
dimanfaatkan PKI untuk pentrapan bagi konsumsi rakyat. Dalam pidato ini
Presiden soekarno mengecam adanya kebudayaan barat yang diasosiasikan dengancita-cita
imperialism barat. Kekuatan Pki setelah tahun 1963sangat besar dan berpengaruh
sekali, Bahkan PKI dapat keluar masuk istana secara mudah. Sehingga Presiden
soekarno mengeeluarkan larangan terhadap manifest kebudayaan karena manifesto
politik republic Indonesia sebagai pancaran pancasiala telah menjadi garis
besar haluan negara tidak mungkin didampingi manifesto lain apalagi kalau
manifesto itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi dan member kesan
berdiri disampingnya. Pernyataan Presiden Soekarno yang menganggap pendukung
manifest kebudayaan bertentangan dengan manipol merupakan suatu tuduhan yang
sangat berbahasa pada saat itu. Pencetus utama manifest kebudayaan H.B Jassin,
wiratmo Sukitodan Trisno sumardjo merasakan ahwa mereka harus membuat suatu
pernyataan berkenaan dengan perintah pelarangan dari Presiden soekarno untuk
menjelaskan posisi manifesto kebudayaan, membersihkan diri mereka dari massa
yang digerakkkan PKI. Oleh sebab itu pada tanggal 11 Mei 1964 ketiga tokoh
tersebut menanggapi larangan Presiden Soekarno. Pernyataan ini dibuat agar
angka korban yang jatuh akibat dukungan kepada manifest kebudayaan tidak
meningkat.
Pada tanggal 27 Agustus-2 September 1964 PKI
mengadakan Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta.
KSSR ini dimaksudkan untuk menandingi KKPI yang diadakan bulan Maret lalu. KSSR
mau membuktikan bahwa suasana kebudayaan berada dibawah kekuasaaan PKI. Dengan
demikian berhasilllah PKI memukul manifest kebudayaan akan tetapi PKPI tidak dapat
mereka hancurkan. Benteng Pancasila tidak dapat ditaklukkan oleh PKI selain itu
para sastrawan Indonesia mendapatkan pelajaran berharga bahwa untuk menghadapi
komunisme diperlukan juga senjata berupa organisasi.
E.
PELAKSANAAN DEMOKRASI TERPIMPIN
Tindakan yang
dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959 telah memenuhi harapan rakyat. Namun demikian, harapan itu akhirnya
hilang, karena ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
UUD 1945 yang menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan
hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka. Hal ini terlihat dengan jelas dari
masalah-masalah berikut ini,
·
Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945,
kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, pada kenyataannya MPRS
tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh
MPRS. Hal ini terlihat dengan jelas dari tindakan presiden ketika mengangkat
ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana menteri III dan mengangkat
wakil-wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan partai-partai besar (PNI, NU,
dan PKI) serta wakil ABRI yang masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri
yang tidak memimpin departemen.
·
Pembentukan MPRS Presiden Soekarno juga
membentuk MPRS ber-dasarkan Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959. Tindakan yang
dilakukan oleh Presiden Soekarno itu bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam
UUD 1945 telah ditetapkan bahwa pengangkatan anggota MPR sebagai lembaga
tertinggi negara hams melalui pemilihan umum, sehingga partai-partai yang
terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggotanya yang duduk di MPR.
·
Manifesto Politik Republik Indonesia Pidato
Presiden tanggal 17 Agustus 1959 berjudul "Penemuan Kembali Revolusi
Kita", dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia. Atas usulan
dari DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959 agar Manifestio Politik
Republik Indoneia itu dijadi-kan Garis-garis Besar Haluan Negara. Inti
Manifesto Politik itu adalah USDEK (Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Keperibadian Indonesia).
·
Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukkan
DPR-GR Anggota DPR hasil pemilu tahun 1955 mencoba menjalankan fungsinya dengan
menolak RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Sebagai akibat dari penolakan itu,
DPR hasil pemilu dibubarkan dan diganti dengan pembentukkan DPR-GR (Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Padahal langkah ini bertentangan dengan UUD
1945 yang menyebutkan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
·
Keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh
tokoh-tokoh beberapa partai besar, seperti PNI, NU, dan PKI. Ketiga partai ini
dianggap telah mewakili seluruh golongan seperti golongan nasionalis, agama,
dan komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom. Dalam pidato Presiden Soekarno
pada upacara pelantikan DPR-GR pada tanggal 25 Juni 1960 disebutkan tugas
DPR-GR adalah melaksanakan Manifesto Politik, me-realisasikan Amanat
Penderitaan Rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, untuk
menegakkan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mendirikan lembaga-lembaga
negara lainnya, misalnya Front Nasional yang dibentuk melalui Penetapan
Presiden No. 13 tahun 1959.
·
Masuknya pengaruh PKI Konsep Nasakom memberi
peluang kepada PKI untuk memperluas dan mengembangkan pengaruhnya. Secara perlahan
dan hati-hati, PKI berusaha untuk menggeser kekuatan-kekuatan yang yang
berusaha menghalanginya. Sasaran PKI selanjutnya adalah berusaha menggeser
kedudukan Pancasila dan UUD 1945 digantikan menjadi komunis. Setelah itu, PKI
mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. Untuk mewujudkan
rencananya, PKI memengaruhi sistem Demokrasi Terpimpin. Hal ini terlihat dengan
jelas bahwa konsep terpimpin dari Presiden Soekarno yang berporos nasionalis,
agama, dan komunis (Nasakom) mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan PKI,
D.N. Aidit. Bahkan melalui Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno
bahwa Presiden Soekarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.
·
Pembentukan Front Nasional, Front Nasional
dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional
merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan
cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala
bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front
Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah
sebagai berikut :
·
Menyelesaikan Revolusi Nasional
·
Melaksanakan Pembangunan
·
Mengembalikan Irian Barat
·
Arah politik luar negeri Indonesia terjadi
penyimpangan dari politik luar negeri bebas-aktif menjadi condong pada salah
satu poros. Pada masa itu diberlakukan politik konfrontasi yang diarahkan pada
negara-negara kapitalis, seperti negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Politik konfrontasi dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces)
dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang
muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan
negara-negara kornunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme.
Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara
kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Bentuk perwujudan poros
anti imperialis dan kolonialis itu dibentuk poros Jakarta - Phnom Penh - Hanoi
- Peking - Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di forum
internasional menjadi sempit, karena berkiblat ke negera-negara komunis. Selain
itu, pemerintah juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini
disebabkan pemerintah tidak setuju dengan pembentukkan negara federasi Malaysia
yang dianggap proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan
negara-negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi itu, Presiden Soekarno
mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya
sebagai berikut.
• Perhebat
Ketahanan Revolusi Indonesia
• Bantu
perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris
Pelaksanaan Dwikora itu diawali dengan pembentukan
Komando Siaga dipimpin Marsekal Omar Dani. Komando Siaga ini bertugas untuk
mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat. Hal ini menunjuk-kan
adanya campur-tangan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
F.
DAMPAK POSITIF DAN DAMPAK NEGATIF DEMOKRASI
TERPIMPIN
a) Dampak
positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
¨
Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis
politik berkepanjangan
¨
Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945
bagi kelangsungan Negara
¨
Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara,
yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi
Parlemen tertertunda pembentukannya
b) Dampak
negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
¨
Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara
murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional
penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong
belaka
¨
Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden,
MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan
berlanjut sampai Orde Baru
¨
Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam
bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan
politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap
terasa sampai sekarang.
G.
PERJUANGAN MEMBEBASKAN IRIAN BARAT
Ada 3 bentuk perjuangan dalam rangka
pembebesan Irian Barat : Diplomasi, Konfrontasi Politik dan Ekonomi serta
Konfrontasi Militer.
1.
Perjuangan
Diplomasi
Ditempuh guna menunjukkan niat baik Indonesia mandahulukan cara damai
dalam menyelesaikan persengketaan. Perjuangan tersebut dilakukan dengan
perundingan. Jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak kabinet Natsir (1950) yang
selanjutnya dijadikan program oleh setiap kabinet. Meskipun selalu mengalami
kegagalan sebab Belanda masih menguasai Irian Barat bahkan secara sepihak
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda. Perjuangan secara
diplomasi ditempuh dengan 2 tahap, yaitu :
1) Secara
bilateral, melalui perundingan dengan belanda
Berdasarkan
perjanjian KMB masalah Irian Barat akan diselesaikan melalui perundingan,
setahun setelah pengakuan kedaulatan. Pihak Indonesia menganggap bahwa Belanda
akan menyerahkan Irian Barat pada waktu yang telah ditentukan. Sementara
Belanda mengartikan perjanjian KMB tersebut bahwa Irian Barat hanya akan
dibicarakan sebatas perundingan saja, bukan diserahkan. Berdasarkan alasan
tersebut maka Belanda mempunyai alasan untuk tetap menguasai Indonesia.
Akhirnya perundingan dengan Belanda inipun mengalami kegagalan.
2) Diplomasi
dalam forum PBB, yaitu dengan membawa masalah Indonesia-Belanda ke sidang PBB.
Dilakukan
sejak Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Burhanuddin Harahap, hingga Ali
Sastroamijoyo II. Dikarenakan penyelesaian secara diplomatik mengalami
kegagalan dan karena adanya pembatalan Uni Indonesia-Belanda secara sepihak
maka Indonesia sejak 1954 melibatkan PBB dalam menyelesaikan masalah Irian
Barat. Dalam sidang PBB Indonesia berupaya meyakinkan bahwa masalah Irian Barat
perlu mendapatkan perhatian Internasional. Alasan Indonesia adalah karena
masalah Irian Barat menunjukkan adanya penindasan suatu bangsa terhadap hak
bangsa lain. Upaya melalui forum PBB pun tidak berhasil karena mereka
menganggap masalah Irian Barat merupakan masalah intern antara
Indonesia-Belanda. Negara-negara barat masih tetap mendukung posisi Belanda.
Indonesia justru mendapat dukungan dari negara-negara peserta KAA di Bandung
yang mengakui bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan republik
Indonesia.
2.
Perjuangan
Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer
Karena perjuangan diplomasi baik
bilateral maupun dalam forum PBB belum menunjukkan hasil sehingga Indonesia
meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi. Konfrontasi dilakukan
tetapi tetap saja melanjutkan diplomasi dalam sidang-sidang PBB. Konfrontasi
yang ditempuh yaitu konfrontasi politik dan ekonomi, serta konfrontasi militer.
Konfrontasi militer terpaksa dilakukan setelah Belanda tidak mau berkompromi
dengan Indonesia.
a.
Konfrontasi
Politik dan Ekonomi
Konfrontasi
ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan
kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi
tersebut sebagai berikut.
1)
Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan
hasil KMB, diumumkan pembatalan utang-utang RI kepada Belanda
2)
Selama tahun 1957 dilakukan :
·
Pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda
·
Melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa
Belanda
·
Melarang penerbangan kapal-kapal Belanda
·
Memboikot kepentingan-kepentingan Belanda di
Indonesia
3)
Selama tahun 1958-1959 dilakukan :
·
Nasionalisasi terhadap ± 700
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia
·
Mengalihkan pusat pemasaran komoditi RI dan
Rotterdam (Belanda) ke Bremen, Jerman
·
Konfrontasi Politik dilakukan melalui tindakan
sebagai berikut.
1)
Tahun 1951, Kabinet Sukiman menyatakan bahwa
hubungan Indonesia dengan Belanda merupakan hubungan bilateral biasa, bukan
hubungan Unie-Statuut
2)
Tanggal 3 Mei 1956, pada masa Kabinet Ali
Sastroamijoyo II, diumumkan pembatalan semua hasil KMB
3)
Pada tanggal 17 Agustus 1956 dibentuk provinsi Irian
Barat dengan ibukotanya kotanya di Soa Siu (Tidore) dan Zaenal Abidin Syah
(Sultan Tidore) sebagai gubernurnya yang dilantik tanggal 23 September 1956.
Provinsi Irian Barat meliputi : Irian, Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile
4)
Pada tanggal 18 November 1957 terjadi Rapat umum
pembebasan Irian Barat di Jakarta
5)
Tahun 1958, Pemerintah RI menghentikan
kegiatan-kegiatan konsuler Belanda di Indonesia. Pemecatan semua pekerja warga
Belanda di Indonesia
6)
Tanggal 8 Februari 1958, dibentuk Front Nasional
Pembebasan Irian Barat
7)
Tanggal 17 Agustus 1960 diumumkan pemutusan hubungan
diplomatik dengan Belanda
b.
Konfrontasi
Militer
Dampak dari tindakan konfrontasi
politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam Sidang Majelis Umum PBB
terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat. Diputuskan bahwa Diplomat
Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi penengah dalam perselisihan
antara Indonesia dan Belanda. Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan
Rencana Bunker, yaitu :
a) Pemerintah
Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia
b) Setelah
sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan
pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau memisahkan diri
c) Pelaksanaan
penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun
d) Guna
menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan pemerintah
peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.
Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek. Pihak
Belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk
menyerahkan Irian Barat di bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk
negara Papua dalam jangka waktu 16 tahun. Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian
Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda tersebut tampak jelas
ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua, lengkap dengan
bendera dan lagu kebangsaan. Tindakan Belanda tersebut tidak melemahkan
semangat bangsa Indonesia. Indonesia menganggap bahwa sudah saatnya menempuh
jalan kekuatan fisik (militer).
Perjuangan melalui jalur militer ditempuh
dengan tujuan untuk :
·
Menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam
memperjuangankan apa pun yang memang menjadi haknya
·
Menunjukkan kesungguhan dan memperkuat posisi
Indonesia
·
Menunjukkan sikap tidak kenal menyerah dalam
merebut Irian Barat
Persiapan pemerintah untuk menggalang
kekuatan militer adalah :
§ Pada
Desember 1960, mengirimkan misi ke Uni Soviet untuk membeli senjata dan
perlengkapan perang lainnya
§ KSAD
mengunjungi beberapa negara, seperti India, Pakistan, tahiland, Filipina,
Australia, Selandia Baru, Jerman, Perancis, dan Inggris untuk menjajaki sikap
negara-negara tersebut bila terjadi perang antara Indonesia dengan Belanda
§ Tindakan
persiapan Indonesia tersebut dianggap oleh Belanda sebagai upaya untuk
melaklukan Agresi. Sehingga Belanda kemudian memperkuat armada dan angkatan
perangnya di Irian Barat dengan mendatangkan kapal induk Karel Dorman
§ Maka
Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan Tri Komando Rakyat
(Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional.
Peristiwa ini menandai dimulainya secara resmi konfrontasi militer terhadap
Belanda dalam rangka mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi
Isi Trikora adalah sebagai berikut.
1) Gagalkan
Pembentukan Negara boneka papua buuatan Belanda
2) Kibarkan
Sang merah Putih di Irian Barat, Tanah air Indonesia
3) Bersiaplah
untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
dan bangsa
c.
Konfrontasi
Total
Sesuai dengan perkembangan situasi
Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar Komodor Tertinggi Pembebasan
Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya sebagai berikut.
∞
Merencanakan, mempersiapkan, dan
menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Irian
Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia
∞
Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat
sesuai dengan perjuangan di bidang diplomasi dan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptakan
daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah daerah Republik
Indonesia
Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala
guna melaksanakan instruksi tersebut.
a. Tahap
Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962)
yaitu dengan
memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan
daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan
mengembangkan pengusaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat
b. Tahap
Eksploitasi (awal 1963)
yaitu mengadakan
serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos
pertahanan musuh yang penting
c. Tahap
Konsolidasi (awal 1964)
yaitu dengan
menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara
mutlak di seluruh Irian Barat
Pelaksanaannya
Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi
Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah
dari presiden untuk menghentikan tembak-menembak.
d.
Akhir
Konfrontasi
Surat perintah tersebut dikeluarkan
setelah ditandatangani persetujuan antara pemerintah RI dengan kerajaan Belanda
mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di New York pada tanggal 15 Agustus
1962 yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian New York. Delegasi Indonesia
dipimpin oleh Menlu Subandrio sementara itu Belanda dipimpin oleh Van Royen dan
Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi.
1)
Kekuasaan pemerintah di Irian Barat untuk
sementara waktu diserahkan pada UNTEA(United Nations Temporary Executive
Authority)
2)
Akan diadakan PERPERA (Penentuan Pendapat
Rakyat) di Irian Barat sebelum tahun 1969
3)
Untuk menjamin Keamanan di Irian Barat
dibentuklah pasukan penjaga perdamaian PBB yang disebut UNSF (United Nations
Security Force) yang dipimpin oleh Brigadir Jendral Said Udin Khan dari Pakistan.
Berdasarkan
Perjanjian New York proses untuk pengembalian Irian Barat ditempuh melalui
beberapa tahap, yaitu :
1.
Antara 1 Oktober -31 Desember 1962 merupakan
masa pemerintahan UNTEA bersama Kerajaan Belanda
2.
Antara 1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa
pemerintahan UNTEA bersama RI
3.
Sejak 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya
berada di bawah kekuasaan RI
4.
Tahun 1969 akan diadakan act of free choice,
yaitu penentuan pendapat rakyat (Perpera)
Penentuan
Pendapat rakyat (Perpera) berarti rakyat diberi kesempatan untuk memilih tetap
bergabung dengan Republik Indonesia atau Merdeka. Perpera mulai dilaksankan
pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke sampai dengan 4 Agustus 1969 di Jayapura.
Hasil Perpera tersebut adalah mayoritas rakyat Irian Barat menyatakan tetap
berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil Perpera selanjutnya
dibawa oleh Diplomat PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan setiap tahap Perpera)
untuk dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24. Tanggal 19 November 1969,
Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Perpera tersebut.