Asal-usul Dipanegara
Menyadari
kedudukannya sebagai putra seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya,
Sultan Hamengkubuwono III,
untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Dipanegara setidaknya menikah dengan
8 wanita dalam hidupnya, yaitu:
- B.R.A. Retno Madubrongto puteri
kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;
- R.A. Supadmi yang kemudian
diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III,
Bupati Panolan, Jipang;
- R.A. Retnodewati seorang putri
Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
- R.Ay. Citrowati, puteri Raden
Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu isteri selir;
- R.A. Maduretno, putri Raden
Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi R.A
Maduretno saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu;
- R.Ay. Ratnaningsih putri Raden
Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan;
- R.A. Retnakumala putri Kyahi
Guru Kasongan;
- R.Ay. Ratnaningrum putri
Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
Dipanegara
lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya,
permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya
terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822)
dimana Dipanegara menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi
Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari
dipegang oleh Patih
Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak
disetujui Dipanegara.
Riwayat perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak
Belanda memasang
patok di tanah milik Dipanegara di desa
Tegalrejo.
Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan
pembebanan pajak.
Sikap Dipanegara yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan
dukungan rakyat. Atas saran
Pangeran Mangkubumi, pamannya, Dipanegara
menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama
Goa
Selarong. Saat itu, Dipanegara menyatakan bahwa perlawanannya adalah
perang sabil, perlawanan
menghadapi kaum
kafir.
Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh
luas hingga ke wilayah Pacitan dan
Kedu. Salah seorang tokoh agama di
Surakarta,
Kyai Maja, ikut bergabung dengan
pasukan Dipanegara di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung
oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati
Gagatan.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara
dan 20 juta
gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Dipanegara. Bahkan
sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja
yang bisa menangkap Dipanegara. Sampai akhirnya Dipanegara ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan
artileri —yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran
frontal— di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran
terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda
pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh
pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari
satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang
mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru
berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir
bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun
stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu,
kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi
yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan
penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai
“senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan
melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis
yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria,
disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan
kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata
terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan
provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan
menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang
berjuang dibawah komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut
tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu;
suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak
terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan
ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan
semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang
terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah
tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan
berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga
dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan
tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang
terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana
kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan
dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Dipanegara dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Dipanegara terjepit. Pada tahun
1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian
Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada
Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil
menjepit pasukan Dipanegara di Magelang. Di sana, Pangeran Dipanegara
menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Maka, Pangeran Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Manado,
kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8
Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putera Pangeran
Diponegoro. Pangeran Alip atau Ki Sodewo atau bagus Singlon, Diponingrat, diponegoro
Anom, Pangeran Joned terus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis.
Empat Putera Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned
terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewo.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa.
Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000
serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga
setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat
bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Dipanegara dianggap pemberontak, sehingga
konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian
Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Dipanegara, dengan
mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Dipanegara kala itu. Kini
anak cucu Dipanegara dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah
bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Penangkapan dan
pengasingan
- 28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de Kock
di Magelang. De Kock memaksa mengadakan
perundingan dan mendesak Dipanegara agar menghentikan perang. Permintaan
itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan
teliti. Hari itu juga Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada
5 April.
- 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran
Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta
para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai
Sotaruna akan dibuang ke Manado.
- 8 Januari 1855 Dipanegara wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro,
Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara
pusat Kota Makassar.
Lokasi makam
Pangeran Dipanegara di Makassar, Sulawesi Selatan.
Dalam
perjuangannya, Pangeran Dipanegara dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon
atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan
Bagelen.
Bagus
Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Dipanegara dengan Raden Ayu
Citrawati . Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri
telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem
Keraton Yogyakarta.
Perjuangan
Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian
eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena
memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah
dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki
Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke
Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo
yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Dipanegara lalu dititipkan pada
sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu
berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda
sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu
terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Dipanegara, bayi
tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.
Keturunan Ki
Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo
pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan
dimotori oleh keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni
Sodewo, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban
Trah Sodewo. Sedangkan untuk mengumpulkan Keluarga Pangeran Diponegoro, Roni
Sodewo bersama Hasan Budianto membuat facebook grup bernama Klan Diponegoro.
Upaya ini berhasil mengumpulkan silsilah anak cucu Pangeran Diponegoro dari 8
putera Pangeran Diponegoro dari seluruh dunia
Setidaknya
Pangeran Diponegoro mempunyai 12 putra dan 10 orang putri, yang keturunannya
semuanya kini hidup tersebar di seluruh Dunia, termasuk Jawa, Sulawesi, dan
Maluku bahkan di Australi, Serbia, Jerman, Belanda dan Arab Saudi.
Penghargaan sebagai Pahlawan
Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di
beberapa kota besar Indonesia terdapat jalan Diponegoro. Kota Semarang sendiri
juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup.
Nama nama tempat yang menggunakan nama beliau antara lain Stadion Diponegoro,
Jalan diponegoro, Universitas Diponegoro, Kodam IV Diponegoro.
Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan,
patung Diponegoro di Kodam IV Dipanegara serta di pintu masuk Undip Tembalang.
Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada
tanggal 8 Januari tahun 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati
100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan
Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui
Keppres No.87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013
Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO)
menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the
World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh
Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada
1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang
memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo.